Senin, 23 Juli 2012

pendidikan

“Pendidikan harus bisa memerdekakan manusia dari ketergantungan kepada orang lain dan bersandar pada kekuatan sendiri” (Ki Hajar Dewantoro)



Pemerintah membuka peluang masuknya investasi asing dalam dunia pedidikan melalui penetapan Peraturan Pemerintah no 77 tahun 2007 yang tentang Bidang Usaha Tertutup dan Yang Terbuka dengan persyaratan terhadap penanaman modal asing dan dalam negeri. Menurut pemerintah, keputusan ini sejalan dengan ketentuan yang disepakati dalam perjanjian GATT (General Agreement on Tariff and Trade) Internasional.
                                                                                                                                                                                                                       
Konsekuensi dari keputusan pemerintah tersebut adalah masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan Indonesia, mulai dari pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan universitas. Dengan demikian nantinya akan ada sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing, dan dikelola sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal tersebut. Tentu karena tujuan investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan laba, maka institusi pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses pengelolaannya akan berorientasi kepada laba.

Dalam arus deras globalisasi dimana aliran barang dan jasa semakin tidak mendapatkan hambatan, maka hampir tidak mungkin untuk membendung masuknya modal asing dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Yang bisa dilakukan oleh negara dalam membuat regulasi dan kebijakan supaya modal asing tersebut tidak menggerogoti kedaulatan dan tanggung jawab negara dalam mengembangkan dan membangun bidang tersebut.
Terbukanya pintu masuk modal asing dalam dunia pendidikan ini menjadi sesuatu yang mencemaskan di tengah-tengah kondisi pendidikan nasional yang belum mampu memberikan akses yang memadai bagi seluruh masyarakat untuk menikmati pendidikan, yang diakibatkan oleh: biaya pendidikan yang mahal, kualitas pendidikan yang masih rendah, kemampuan finansial negara yang lemah, serta ketidakkonsistenan dalam berbagai kebijakan pendidikan. Investasi asing dalam dunia pendidikan semakin menegaskan tentang ketidakmampuan pemerintah untuk secara finansial mengelola pendidikan kita.
Alokasi dana negara yang yang diperuntukkan untuk bidang pendidikan belum memadai untuk mendorong perubahan yang signifikan dalam pembangunan pendidikan. Target anggaran pendidikan minimum 20 % di dalam APBN tidak pernah bisa dipenuhi, karena ketidakseriusan negara dalam memastikan dipenuhinya hak pendidikan yang merata dan memadai bagi warganya. (Baru saja Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa gaji guru termasuk dalam komponen target anggaran APBN yang 20 % tersebut. Suatu keputusan yang sungguh tidak strategis dalam pembangunan pendidikan Indonesia).
Dalam sebuah forum UNESCO di Dakkar tentang Education for All di tahun 2000 (yang sebelumnya pernah dicanangkan Unesco di tahun 1990) menegaskan kembali tentang kewajiban setiap negara untuk menyediakan pendidikan bagi semua warganya seperti yang di tuliskan dalam konstitusi UNESCO tahun 1946 serta Declaration of Human Right tahun 1948. Bahwa pendidikan harus bebas biaya, minimal di tingkat dasar dan merupakan pendidikan yang bersifat wajib. Fakta adalah masih banyak biaya langsung dan tidak langsung terjadi, meskipun pemerintah sudah mengaturnya dalam sebuah regulasi negara. Forum Dakkar menilai kegagalan “Pendidikan Untuk Semua” tersebut didorong oleh faktor, seperti: kebijakan pendidikan yang tidak profesional, kurikulum yang tidak relevan, dan kemampuan keuangan serta korupsi negara.
Kepemilikan Asing dan Persaingan dengan Sekolah Swasta
Bermunculannya sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing akan mendorong persaingan yang tajam dengan sekolah-sekolah swasta dalam negeri. Di satu sisi persaingan tersebut bersifat positif, karena sekolah swasta Indonesia akan dipacu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan secara lebih baik. Namun disisi lain, persaingan tersebut akan membuat perubahan yang sangat signifikan dalam orientasi pembangunan pendidikan di Indonesia.
Sekolah-sekolah swasta akan dipacu menjadi sebuah institusi bisnis yang harus mendatangkan laba, supaya mampu meningkatkan kualitas pendidikannya melalui pengembangan berbagai fasilitas pendidikan. Tujuannya agar dengan peningkatan fasilitas sekolah yang semakin bagus, akan mampu bersaing dengan sekolah yang memiliki modal yang kuat. Kondisi ini akan menciptakan persaingan yang membuat pendidikan menjadi mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh masyarakat. Hanya lapisan masyarakat yang mampu dan kaya akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sedangkan masyarakat yang miskin semakin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan menjadi sebuah bisnis yang tidak lagi mengemban misi sosial untuk perubahan kultur masyarakat, tetapi mengemban misi bisnis global. Sehingga kepentingan pemilik modal akan menentukan dan mengarahkan bagaimana bentuk dan tujuan pendidikan tersebut. Dan kepentingan pemilik modal selalu terkait dengan laba. Liberalisasi pendidikan akan berpotensi menciptakan kesenjangan yang luar biasa terhadap akses ke pendidikan. Karena “korporasi” pendidikan akan menciptakan suatu proses pendidikan yang akan berorientasi kepada pasar semata, yaitu yang berduit dan yang mampu. Sementara jutaan masyarakat lainnya tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang cukup baik
Peran Pemerintah Dalam Regulasi
Pemerintah perlu memikirkan secara mendalam dampak liberalisasi pendidikan tersebut terhadap tujuan pendidikan nasional. Dalam pembukaan UUD 45 disebutkan tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian tanggung jawab yang utama dari pemerintah adalah menyediakan akses yang merata dan terjangkau oleh seluruh lapiran masyarakat tanpa terkecuali, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan fasilitas pendidikan yang memada, serta mengatur proses pendidikan melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan Indonesia.
Jika investasi asing ini membuat kemampuan negara dalam memenuhi hak-hak masyarakat akan pendidikan menjadi semakin menurun, maka pemerintah perlu meninjau ulang PP nomor 77 tersebut. Karena bukan tidak mungkin masuknya modal asing dalam pendidikan ini akan membuat ketergantungan yang semakin besar dari pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Sejak dini, pemerintah harus memastikan regulasi yang dikeluarkan tersebut tidak membuat sekolah-sekolah milik negeri sendiri kalah bersaing karena permodalan, membuat lunturnya nilai-nilai kebangsaan karena kebijakan sekolah yang berorientasi laba, serta  dalam perkembangannya justru tidak mendukung misi dan tujuan pendidikan nasional.
Jika pemerintah ingin membendung liberalisasi pendidikan dengan segala dampaknya tersebut, maka pemerintah harus membangun kemampuan finansialnya dalam pendidikan nasional. Target minimum 20 % anggaran pendidikan (diluar gaji guru) harus dipenuhi, untuk memastikan tersedianya fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Kelemahan dalam manajemen pendidikan harus diperbaiki, serta korupsi dalam bidang pendidikan harus diperangi untuk memastikan anggaran tepat sasaran. Kita harus mulai bergantung kepada kemampuan diri sendiri dalam membangun pendidikan bangsa, termasuk kemampuan finansial kita. Semoga semangat dan pesan dari Ki Hajar Dewantoro menginspirasi kita untuk melakukan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar