“Pendidikan harus bisa memerdekakan manusia dari ketergantungan kepada orang lain dan bersandar pada kekuatan sendiri” (Ki Hajar Dewantoro)
Pemerintah membuka peluang masuknya investasi asing
dalam dunia pedidikan melalui penetapan Peraturan Pemerintah no 77
tahun 2007 yang tentang Bidang Usaha Tertutup dan Yang Terbuka dengan
persyaratan terhadap penanaman modal asing dan dalam negeri. Menurut
pemerintah, keputusan ini sejalan dengan ketentuan yang disepakati dalam
perjanjian GATT (General Agreement on Tariff and Trade) Internasional.
Konsekuensi dari keputusan pemerintah tersebut
adalah masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan Indonesia,
mulai dari pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan universitas. Dengan
demikian nantinya akan ada sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing, dan
dikelola sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal tersebut. Tentu
karena tujuan investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan laba,
maka institusi pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses
pengelolaannya akan berorientasi kepada laba.
Dalam arus deras globalisasi dimana aliran barang dan
jasa semakin tidak mendapatkan hambatan, maka hampir tidak mungkin
untuk membendung masuknya modal asing dalam berbagai bidang kehidupan,
termasuk bidang pendidikan. Yang bisa dilakukan oleh negara dalam
membuat regulasi dan kebijakan supaya modal asing tersebut tidak
menggerogoti kedaulatan dan tanggung jawab negara dalam mengembangkan
dan membangun bidang tersebut.
Terbukanya pintu masuk modal asing dalam dunia
pendidikan ini menjadi sesuatu yang mencemaskan di tengah-tengah kondisi
pendidikan nasional yang belum mampu memberikan akses yang memadai bagi
seluruh masyarakat untuk menikmati pendidikan, yang diakibatkan oleh:
biaya pendidikan yang mahal, kualitas pendidikan yang masih rendah,
kemampuan finansial negara yang lemah, serta ketidakkonsistenan dalam
berbagai kebijakan pendidikan. Investasi asing dalam dunia pendidikan
semakin menegaskan tentang ketidakmampuan pemerintah untuk secara
finansial mengelola pendidikan kita.
Alokasi dana negara yang yang diperuntukkan untuk
bidang pendidikan belum memadai untuk mendorong perubahan yang
signifikan dalam pembangunan pendidikan. Target anggaran pendidikan
minimum 20 % di dalam APBN tidak pernah bisa dipenuhi, karena
ketidakseriusan negara dalam memastikan dipenuhinya hak pendidikan yang
merata dan memadai bagi warganya. (Baru saja Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa gaji guru termasuk dalam komponen target anggaran APBN
yang 20 % tersebut. Suatu keputusan yang sungguh tidak strategis dalam
pembangunan pendidikan Indonesia).
Dalam sebuah forum UNESCO di Dakkar tentang Education for All
di tahun 2000 (yang sebelumnya pernah dicanangkan Unesco di tahun 1990)
menegaskan kembali tentang kewajiban setiap negara untuk menyediakan
pendidikan bagi semua warganya seperti yang di tuliskan dalam konstitusi
UNESCO tahun 1946 serta Declaration of Human Right tahun 1948.
Bahwa pendidikan harus bebas biaya, minimal di tingkat dasar dan
merupakan pendidikan yang bersifat wajib. Fakta adalah masih banyak
biaya langsung dan tidak langsung terjadi, meskipun pemerintah sudah
mengaturnya dalam sebuah regulasi negara. Forum Dakkar menilai kegagalan
“Pendidikan Untuk Semua” tersebut didorong oleh faktor, seperti:
kebijakan pendidikan yang tidak profesional, kurikulum yang tidak
relevan, dan kemampuan keuangan serta korupsi negara.
Kepemilikan Asing dan Persaingan dengan Sekolah Swasta
Bermunculannya sekolah-sekolah yang dimiliki oleh
asing akan mendorong persaingan yang tajam dengan sekolah-sekolah swasta
dalam negeri. Di satu sisi persaingan tersebut bersifat positif, karena
sekolah swasta Indonesia akan dipacu untuk meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pendidikan secara lebih baik. Namun disisi lain,
persaingan tersebut akan membuat perubahan yang sangat signifikan dalam
orientasi pembangunan pendidikan di Indonesia.
Sekolah-sekolah swasta akan dipacu menjadi sebuah
institusi bisnis yang harus mendatangkan laba, supaya mampu meningkatkan
kualitas pendidikannya melalui pengembangan berbagai fasilitas
pendidikan. Tujuannya agar dengan peningkatan fasilitas sekolah yang
semakin bagus, akan mampu bersaing dengan sekolah yang memiliki modal
yang kuat. Kondisi ini akan menciptakan persaingan yang membuat
pendidikan menjadi mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh
masyarakat. Hanya lapisan masyarakat yang mampu dan kaya akan
mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sedangkan masyarakat yang
miskin semakin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang
berkualitas.
Pendidikan menjadi sebuah bisnis yang tidak lagi
mengemban misi sosial untuk perubahan kultur masyarakat, tetapi
mengemban misi bisnis global. Sehingga kepentingan pemilik modal akan
menentukan dan mengarahkan bagaimana bentuk dan tujuan pendidikan
tersebut. Dan kepentingan pemilik modal selalu terkait dengan laba.
Liberalisasi pendidikan akan berpotensi menciptakan kesenjangan yang
luar biasa terhadap akses ke pendidikan. Karena “korporasi” pendidikan
akan menciptakan suatu proses pendidikan yang akan berorientasi kepada
pasar semata, yaitu yang berduit dan yang mampu. Sementara jutaan
masyarakat lainnya tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan yang cukup baik
Peran Pemerintah Dalam Regulasi
Pemerintah perlu memikirkan secara mendalam dampak
liberalisasi pendidikan tersebut terhadap tujuan pendidikan nasional.
Dalam pembukaan UUD 45 disebutkan tujuan pendidikan adalah mencerdaskan
kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian tanggung jawab
yang utama dari pemerintah adalah menyediakan akses yang merata dan
terjangkau oleh seluruh lapiran masyarakat tanpa terkecuali, membuka
kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan
fasilitas pendidikan yang memada, serta mengatur proses pendidikan
melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan
Indonesia.
Jika investasi asing ini membuat kemampuan negara
dalam memenuhi hak-hak masyarakat akan pendidikan menjadi semakin
menurun, maka pemerintah perlu meninjau ulang PP nomor 77 tersebut.
Karena bukan tidak mungkin masuknya modal asing dalam pendidikan ini
akan membuat ketergantungan yang semakin besar dari pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan. Sejak dini, pemerintah harus memastikan
regulasi yang dikeluarkan tersebut tidak membuat sekolah-sekolah milik
negeri sendiri kalah bersaing karena permodalan, membuat lunturnya
nilai-nilai kebangsaan karena kebijakan sekolah yang berorientasi laba,
serta dalam perkembangannya justru tidak mendukung misi dan tujuan
pendidikan nasional.
Jika pemerintah ingin membendung liberalisasi
pendidikan dengan segala dampaknya tersebut, maka pemerintah harus
membangun kemampuan finansialnya dalam pendidikan nasional. Target
minimum 20 % anggaran pendidikan (diluar gaji guru) harus dipenuhi,
untuk memastikan tersedianya fasilitas dan infrastruktur yang memadai.
Kelemahan dalam manajemen pendidikan harus diperbaiki, serta korupsi
dalam bidang pendidikan harus diperangi untuk memastikan anggaran tepat
sasaran. Kita harus mulai bergantung kepada kemampuan diri sendiri dalam
membangun pendidikan bangsa, termasuk kemampuan finansial kita. Semoga
semangat dan pesan dari Ki Hajar Dewantoro menginspirasi kita untuk
melakukan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar