Jumat, 13 April 2012

peran pendidikan

Sebagai ilmu, pendidikan Islam bertugas untuk memberikan penganalisaan secara mendalam dan terinci tentang problema-problema kependidikan Islam sampai kepada penyelesaiannya. Pendidikan Islam sebagai ilmu, tidak melandasi tugasnya pada teori-teori saja, akan tetapi memperhatikan juga fakta-fakta empiris atau praktis yang berlangsung dalam masyarakat sebagai bahan analisa.
Oleh sebab itu, masalah pendidikan akan dapat diselasaikan bilamana didasarkan keterkaitan hubungan antara teori dan praktek, karena pendidikan akan mampu berkembang bilamana benar-benar terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat. Antara pendidikan dan masyarakat selalu terjadi interaksi (saling mempengaruhi) atau saling mengembangkan sehingga satu sama lain dapat mendorong perkembangan untuk memperkokoh posisi dan fungsi serta idealisasi kehidupannya. Ia memerlukan landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang hakikat yang ada dibalik masalah pendidikan yang dihadapi.
Dengan demikian filsafat pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu pendidikan Islam tentang hakikat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses kependidikan. Selanjutnya, tugas filsafat adalah melaksanakan pemikiran rasional analisis dan teoritis (bahkan spekulatif) secara mendalam dan memdasar melalui proses pemikiran yang sistematis, logis, dan radikal (sampai keakar-akarnya), tentang problema hidup dan kehidupan manusia. Produk pemikirannya merupakan pandangan dasar yang berintikan kepada “trichotomi” (tiga kekuatan rohani pokok) yang berkembang dalam pusat kemanusiaan manusia (natropologi centra) yang meliputi: (1) Induvidualisme (2) Sosialitas (3) Moralitas.
Ketiga kemampuan tersebut berkembang dalam pola hubungan tiga arah yang kita namakan dengan “trilogi hubungan” pengimplementasinya berupa:
1.        Hubungan dengan Tuhan, karena ia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
2.        Hubungan dengan masyarakat karena ia sebagai masyarakat.
3.        Hubungan dengan alam sekitar karena ia makhluk Allah yang harus mengelola, mengatur, memanfaatkan kekayaan alam sekitar yang terdapat diatas, di bawah dan di dalam perut bumi ini.
Kesimpulannya, diantara tugas filsafat antara lain termasuk melaksanakan pemikiran rasional analisis dan teoritis (bahkan spekulatif) secara mendalam dan mendasar melalui proses pemikiran yang sistematis, logis, dan radikal (sampai keakar-akarnya), tentang problema hidup dan kehidupan manusia.

pendidikan

PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PEMBENTUKAN MORALITAS SISWA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.

Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.

Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing.

Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak.

Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Bab II Pasal 4, dijelaskan bahwa: ”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan bangsa”. Ini merupakan salah satu dasar dan tujuan dari pendidikan nasional yang seharusnya menjadi acuan bangsa Indonesia.

Krisis akhlak terlihat pada lapisan masyarakat yang sebagian sikap mereka sangat mudah merampas hak orang lain, misalnya menjarah, main hakim sendiri, melanggar peraturan tanpa merasa bersalah, mudah terpancing emosi, mudah diombang-ambingkan dan perbuatan lain yang merugikan orang lain atau diri sendiri.
Hal ini juga berdampak buruk pada mutu pendidikan terutama pada kalangan pelajar, dan untuk mengatasi hal tersebut maka perlu adanya filsafat dalam pendidikan pada kalangan masyarakat terutama para pelajar, karena dengan Filsafat pendidikan prilaku masyarakat terutama para pelajar akan lebih terarah, dan tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional. Oleh sebab itu maka penulis tertarik membahas lebih lanjut tentang “Peranan Filsafat Pendidikan dalam Pembentukan Moralitas Siswa”.


BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat
Filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai keakar-akarnya. Sesuatu disini dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila berarti terbatas, filsafat membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas, filsafat membahas segala sesuatu yang ada dialam ini yang sering dikatakan filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas adalah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni dan lain-lainnya.

Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja, sesungguhnya isi alam yang dapat dinikmati hanya sebagian kecil saja. Misalnya mengamati gunung es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan di laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba sesuatu yang ada dipikiran dan renungan yang kritis.

Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu: metafisiska, epistemologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut :
1). Metafisika adalah filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat dialam ini. Dalam kaitannya dengan manusia, ada dua pandangan menurut Callahan (1983) yaitu :
a. Manusia pada hakekatnya adalah spritual. Yang ada adalah jiwa tau roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasikan diri, pandangan ini dianut oleh kaum Idealis, Scholastik, dan beberapa Realis.
b. Manusia adalah organisme materi.Pandangan ini dianut kaum Naturalis, Materialis, Eksprementalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup. Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan menusia menjadi menyenangkan.

2). Epistemologi adalah filfat yang membahas tentang pergaulan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai beikut :
a. ada lima sumber pengetahuan yaitu:
(1). Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedia, buku teks yang baik, rums dan tabel.
(2). Comman sense yang ada pada adat dan tradisi
(3). Intuisi yang berkaitan dengan perasaan
(4). Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengelaman
(5).Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.

b. ada empat teori kebenaran yaitu:
(1). Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsesten dengan kebenaan umum.
(2). Koresponden, sesuatu akan benar bila ia dengan tepat dengan fakta yang jelas.
(3). Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan.
(4). Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.

3). Logika adalah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan manusia bisa berpikir dan mengemukakan penadapatnya secara tepat.

4). Etika adalah filsafat yang menguaraikan tentang perilaku manusia, Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangan perilaku manusia, anatara lain afeksi peserta didik.
Junjun (1981) membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua bagian yang seling berkaitan satu dengan yang lain. Tingkat proses perkembangan yang dimaksud adalah:
1). Tingkat empiris adalah ilmu yang baru ditemukan di lapangan. Ilmu yang masih berdiri sendiri, baru sedikit bertautan dengan penemuan yang lain sejenis. Pada tingkat ini wujud ilmu belum utuh, masing-masing sesuai dengan misi penemuannya karena belum lengkap.
2). Tingkat penjelasan atau teoretis, adalah ilmu yang sudah mengembangkan suatu struktur teoretis. Dengan struktur ini ilmu-ilmu emperis yang masih terpisah-pisah itu dicari kaitannya satu dengan yang lain dan dijelaskan sifat kaitan itu. Dengan cara ini struktur berusaha mengintergrasikan ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu pola yang berarti.

Dari uraian di atas kita sudah berkenalan dengan ilmu empiris berupa simpulan-simpulan penelitian dan konsep-konsep serta ilmu teoretis dalam bentuk teori-teori atau grand theory-grand theory.
Sedangkan Pendidikan adalah merupakan salah satu bidang ilmu. Sama halnya dengan ilmu-ilmu yang lain, pendidikan lahir dari induknya filsafat. Sejalandengan proses perkembangan ilmu ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.

Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsif koherensi, dan logika dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.

Pendidikan menurut filsafat bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberikesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangkan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri sendiri. Materi pelajaran harus memberikesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung dalam kebutuhan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat demokratis dengan teknik mengajar langsung.

Dasar ontologis ilmu pendidikan yaitu Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro.

Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto.

Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).

c. Dasar aksiologis ilmu pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.

Peranannya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

d. Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Peranan Filsafat dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing. Sejak dahulu, disepakati bahwa dalam pribadi individu tumbuh atas dua kekuatan yaitu : kekuatan dari dalam (kemampuan-kemampuan dasar), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor dasar” dan kekuatan dari luar (faktor lingkungan), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor ajar”.
Teori konvergensi yang berpendapat bahwa kemampuan dasar dan faktor dari luar saling memberi pengaruh, kedua kekuatan itu sebenarnya berpadu menjadi satu. Si pribadi terpengaruh lingkungan, dan lingkungan pun diubah oleh si pribadi. Faktor-faktor intern (dari dalam) berkembang dan hasil perkembangannya digunakan untuk mengembangkan pribadi di lingkungan. Factor dari luar dan lingkungan kadang tidak berkembang dengan baik, misalnya ketika pribadi terpengaruh oleh hal-hal negatif yang timbul dari luar dirinya.
Permasalahan sekarang baik dilingkungan masyarakat maupun para pelajar sering menggunakan pengaruh dari luar yang dipenuhi dengan hal-hal negative, sehingga banyak dikalangan masyarakat terutama para pelajar terjadi kirisis moral, masalah sedikit bisa mengakibatkan pertengkaran dan tauran pelajar. Hal ini sangat berpengaruh pada mutu pendidikan. Dengan terjadinya krisis moral pada pelajar maka akan berdampak buruk pada nilai pelajaran di sekolahnya dan akibatnya mutu pendidikan akan rendah.

e. Sebab Timbulnya Krisis Moral
Adapun yang menjadi akar masalah penyebab timbulnya krisis akhlak dalam masyarakat cukup banyak, yang terpenting diantaranya adalah:
Pertama, krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam (self control) Selanjutnya alat pengontrol perpindahan kepada hukum dan masyarakat. Namun karena hukum dan masyarakat juga sudah lemah, maka hilanglah seluruh alat kontrol. Akibatnya manusia dapat berbuat sesuka hati dalam melakukan pelanggaran tanpa ada yang menegur.
Kedua, krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung jawab pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat dan pemerintah4. Ketiga

f. Langkah yang ditempuh untuk mengatasi krisis moral
Pendapat Harold G. Shane dalam bukunya yang berjudul “Arti Pendidikan Bagi Masa Depan”, ada beberapa karakteristik dari desain pendidikan yang akan muncul untuk kehidupan di masa depan, karakteristik itu adalah:
1. Tekanan perlu diberikan pada mendapatkan kembali, dalam bentuk yang jelas, disiplin sosial yang telah menuntun orang Barat dan barangkali yang telah menuntun sebagian besar umat manusia, sebelum timbulnya krisis nilai sekarang ini. Krisis yang sifatnya relatifisme dan permisif ini mengganggu keterikatan orang pada norma-norma yang ditetapkankebudayaan yang menuntun setiap individu agar berbuat menurut cara tertentu. Kita harus bergerak maju menuju nilai-nilai dan tipe hidup yang baru yang diperlukan dalam menyongsong masa depan.
2. Melalui pendidikan, serangan akan dilancarkan terhadap kubu materialism yang kuat, secara spesifik, terhadap kekeliruan yang telah meletakkan kepercayaan besar pada nilai-nilai materialisme. Diharapkan melalui pendidikan dapat mengubah nilai-nilai yang selama ini bersifat “cinta benda” yaitu selera besar untuk memperoleh benda-benda konsumsi yang tak terkendalikan.
3. Bahaya dan masalah penggunaan tekhnologi dalam menyongsong hidup di masa depan. Dengan pendidikan diharapkan dapat meminimalisir bahaya dan masalah tekhnologi, sehingga menjadikan tekhnologi itu sarana penting dalam memperbaiki kedudukan manusia dan perlunya dipikirkan lagi agar pemanfaatan tekhnologi dapat diinjeksikan ke dalam kurikulum.
4. Kurikulum harus mulai responsif secara lebih memadai terhadap ancaman kerusakan atau krisis nilai yang menimpa lingkungan sosialnya. Secara paten, pendidikan akan mempunyai peranan penting saat keputusankeputusan sosial yang penting dicapai berkenaan dengan kebijakan nasional dan dalam keadaan bagaimanapun juga terdapat banyak dasar untuk memulainya di sekolah.
5. Pendidikan perlu terus mendidik pelajar supaya keluaran pendidikan yang baru dapat membuat pelajar menghadapi potensi kekuatan media massa dalam bentuk opini dan sikap publik. Inilah sosok pendidikan yang berkembang kini, dan bagaimana sosok masyarakat masa depan dengan nilai-nilainya yang dominan. Memang kita semua mengetahui betapa sektor pendidikan selalu terbelakang dalam berbagai sector pembangunan lainnya, bukan karena sektor itu lebih di lihat sebagai sector konsumtif juga karena pendidikan adalah penjaga status quo masyarakat itu sendiri. Pendidikan merupakan sebagian dari kehidupan masyarakat dan juga sebagai dinamisator masyarakat itu sendiri. Dalam aspek inilah peran pendidikan memang sangat strategis karena menjadi tiang sanggah dari kesinambungan masyarakat itu sendiri.

Proses perubahan tata nilai akan berjalan sesuai dengan dinamika masyarakat dalam era tertentu. Selain itu nilai-nilai pada generasi yang mendahului sebagian atau keseluruhan masih tetap hidup dalam generasi berikutnya. Nilai-nilai yang dominan pada setiap generasi ada yang bersifat positif dan ada yang negatif, maka kita perlu mengidentifikasinya dan waspada sehingga kita bisa menyaring mana yang perlu dihidari dan mana yang perlu diambil untuk kemajuan di masa mendatang. Salah satu tugas dari Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), yakni menjaga, melestarikan dan membangun nilai-nilai luhur bangsa18. Dalam perkembangannya, generasi nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia kita lihat adanya nilai-nilai antar generasi. Pendidikan menjadikan nilai-nilai dasar akan semakin kokoh dalam perjalanan kehidupan bangsa, seperti nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai-nilai generasi pertama dari perjalanan hidup bangsa.

Sudah tentu nilai-nilai luhur itu perlu ditempa, dihaluskan dan diasah terus menerus sesuai dengan perubahan kehidupan


BAB III
PENUTUP

Gejala kemerosotan nilai-nilai akhlak dan moral dikalangan masyarak sudah mulai luntur dan meresahkan. Sikap saling tolong-menolong, keujujuran, keadilan dan kasih sayang tinggal slogan belaka. Bahkan krisis itu telah melanda generasi muda sebagai penerus bangsa. Adanya sikap, tindakan dan perbuatan yang tidak bertanggung jawab ini bila dibiarkan terus, maka tak ayal lagi kalau generasi mendatang akan diliputi kegelapan dan hancurnya tatanan perikehidupan umat manusia.
Sebab timbulnya krisis akhlak antara lain:

1. Krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari.
2. Krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung jawab pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat dan pemerintah.
3. Krisis akhlak terjadi karena derasnya arus budaya hidup materialistik, hedonistik dan sekularistik.
4. Krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguhsungguhdari pemerintah. Kekuasaan, dana, tekhnologi, sumber daya manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa.
5. Kerisauan kita mengenai akhlak yang mengkhawatirkan bisa saja diperpanjang dengan mencari siapapun yang disalahkan dan menjadi kambing hitamnya, akan tetapi hal itu tidaklah arif dan bijaksana tanpa memusatkan perhatian untuk mencari solusinya. Menyadari akan pentingnya akhlak, tentu kita tidak bisa melepaskan diri dari dunia pendidikan itu sendiri. Pendidikan berusaha mencetak kader-kader yang selain mempunyai wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas atau bersifat teoritis, juga harus bisa mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan akhlak tidak sebatas pengetahuan tetapi lebih berpijak pada perilaku yang dibiasakan.

Pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan menetapkan pelaksanaan pendidikan agama, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Hal yang demikian diyakini, karena inti ajaran agama adalah akhlak yang mulia yang bertumpu pada keimanan kepada Tuhan dan keadilan sosial. Pendidikan akhlak merupakan konsep nilai-nilai yang terbungkus dalam tataran norma-norma, adat, kebiasaan atau dalam bentuk seni dan berkebudayaan. Inilah arti penting pendidikan dalam tataran mengatasi krisis akhlak yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA
Arifin H.M., (1994) Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara: Jakarta.
Al-Aziz, Moh. Saifulloh, Drs. (2000), Milenium Menuju Masyarakat Madani, Terbit Terang: Surabaya.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly
_______ (2007) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Balai Pustaka: Jakarta.

Gordon, Thomas , (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub
G. Shane, Harold, (2002) Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Hasbullah, (1997) Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Mudyahardjo, Redja (2002) Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Nata Abuddin, MA. Prof. Dr. H., (2003) Manajemenen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana: Bogor.

Rasyad Aminuddin, dalam Ahmad Tafsir, (1995) Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Fak.Tarbiyah MIN Sunan Gunung Jati: Bandung.

Suparlan suhartono.(2006). Filsafat Pendidika, Ar-Ruz Media: Jogjakarta.
Tirtarahardja, Umar dan La Sulo (1994). Pengantar Pendidikan, Dirjen Pendidikan Tinggi. Depdikbud: Jakarta.

Minggu, 08 April 2012

PERAN PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI

Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di berbagai belahan dunia mengalami perubahan sangat mendasar dalam era globalisasi. Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati umat manusia. Namun sebaliknya,kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia, apalagi dalam era globalisasi sekarang ini.
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Suatu fenomena menarik dalam hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industrialisasi sekolah. Bahkan beberapa sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan pengembangan suatu kompleks perumahan elite. Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota besar di Indonesia dimiliki oleh pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.
Otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Perdebatan antara anti-otonomi dan pro-otonomi perguruan tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu.
Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antarsekolah akan makin seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan adalah segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Atau, kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota, pemisahan antara siswa dari keluarga miskin dan kaya akan makin jelas dan kukuh.
Siswa-siswa dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin mencekik sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin) Sementara itu, siswa-siswa dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana yang memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran pendidikan yang memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Jadi, sekolah yang sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, sekolah yang miskin akan makin terperosok dalam kebangkrutan.
Dalam dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah
yang beragam menurut latar belakang sosioekonomi yang berbeda. Negara belum mampu memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Sampai saat ini, belum tampak adanya pembenahan yang signifikan dan terpadu untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan tingkat pendidikan tinggi. Muncul pertanyaan besar: Ke mana arah pendidikan di Indonesia?
Pendidikan dimaksudkan sebagai mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif dari proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan membentuk masa depan bangsa. Akan tetapi, pendidikan yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai dengan tujuan dan berada pada rel yang tepat.
Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak untuk memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia.
Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan bukan hanya {state building] dan {nation building] melainkan juga {capacity building.] Birokrasi pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner serta tidak terjebak untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti UAN/UNAS. Dengan kebijakan otonomi daerah, setiap kabupaten perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat namun bermutu tinggi. Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menjadi lahan persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus mencari upaya-upaya untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik.
Globalisasi ekonomi dan era informasi mendorong industri menggunakan sumber daya manusia lulusan perguruan tinggi yang kompeten dan memiliki jiwa kewirausahaan. Akan tetapi tidak setiap lulusan perguruan tinggi memiliki jiwa kewirausahaan seperti yang diinginkan oleh lapangan kerja tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan perguruan tinggi yang memiliki jiwa kewirausahaan. Di sisi lain, krisis ekonomi menyebabkan jumlah lapangan kerja tidak tumbuh, dan bahkan berkurang karena bangkrut. Dalam kondisi seperti ini, maka lulusan perguruan tinggi dituntut untuk tidak hanya mampu berperan sebagai pencari kerja tetapi juga harus mampu berperan sebagai pencipta kerja. Keduanya memerlukan jiwa kewirausahaan.
Oleh karena itu, agar supaya perguruan tinggi mampu memenuhi tuntutan tersebut, berbagai inovasi diperlukan diantaranya adalah inovasi pembelajaran dalam membangun generasi technopreneurship di era informasi sekarang ini. Ada suatu pendapat bahwa, saat ini sebagian besar lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih lemah jiwa kewirausahaannya. Sedangkan sebagian kecil yang telah memiliki jiwa kewirausahaan, umumnya karena berasal dari keluarga pengusaha atau dagang. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa kewirausahaan adalah merupakan jiwa yang bisa dipelajari dan diajarkan. Seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan umumnya memiliki potensi menjadi pengusaha tetapi bukan jaminan menjadi pengusaha, dan pengusaha umumnya memiliki jiwa kewirausahaan. Proses pembelajaran yang merupakan inkubator bisnis berbasis teknologi ini dirancang sebagai usaha untuk mensinergikan teori (20%) dan Praktek (80%) dari berbagai kompetensi bidang ilmu yang diperoleh dalam bidang teknologi & industri. Inkubator bisnis ini dijadikan sebagai pusat kegiatan pembelajaran dengan atmosfir bisnis yang kondusif serta didukung oleh fasilitas laboratorium yang memadai.
Tujuan implementasi inovasi dari kegiatan inkubator bisnis berbasis teknologi ini adalah menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan bagi mahasiswa sebagai peserta didik. Sedangkan manfaat yang diperoleh bagi institusi adalah tercapainya misi institusi dalam membangun generasi technopreneurship dan meningkatnya relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Sedangkan manfaat bagi mitra kerja adalah terjalinnya kerja sama bisnis dan edukasi. Kerjasama ini dikembangkan dalam bentuk bisnis riil produk sejenis yang memiliki potensi ekonomi pasar yang cukup tinggi.
Proses globalisasi yang sedang terjadi saat ini, menuntut perubahan perekonomian Indonesia dari resourced based ke knowledge based. Resource based yang mengandalkan kekayaan dan keragaman sumber daya alam umumnya menghasilkan komoditi dasar dengan nilai tambah yang kecil. Salah satu kunci penciptaan knowledge based economy adalah adanya technology entrepreneurs atau disingkat techno-preneur yang merintis bisnis baru dengan mengandalkan pada inovasi. Hightech business merupakan contoh klasik bisnis yang dirintis oleh technopreneurs.
Bisnis teknologi dunia saat ini didominasi oleh sektor teknologi informasi, bioteknologi dan material baru serta berbagai pengembangan usaha yang berbasiskan inovasi teknologi. Bisnis teknologi dikembangkan dengan adanya sinergi antara teknopreneur sebagai pengagas bisnis, Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian sebagai pusat inovasi teknologi baru, serta perusahaan modal ventura yang memiliki kompetensi dalam pendanaan.
Jumlah usaha kecil menengah berbasis teknologi (UKMT) di Indonesia berkembang dengan pesat. Kecenderungan peningkatan ini lebih didorong oleh terbatasnya peluang kerja di industri-industri besar karena pengaruh krisis ekonomi dan mulai munculnya technopreneurship di kalangan lulusan pendidikan tinggi teknik.
Dalam menghadapi era globalisasi, persaingan akan semakin ketat, sehingga sangat dibutuhkan kebijakan-kebijakan dan aktivitas-aktivitas secara langsung yang dapat meningkatkan daya saing UKMT di kemudian hari. Kesulitan dan hambatan pada UKMT di Indonesia dalam mengembangkan usahanya adalah lemahnya jalur pemasaran, dukungan teknologi dan terbatasnya permodalan. Terlebih lagi, bagi pengusaha pemula, masalah ini akan terlihat lebih besar dan menjadi kendala cukup besar dalam mengembangkan usahanya.
Sampai saat ini belum banyak institusi pemerintah maupun swasta yang dapat memberikan dukungan secara langsung untuk pengembangan UKMT khususnya bagi pengusaha pemula. Sehingga sangat dibutuhkan suatu wadah yang dapat memberikan dukungan langsung berupa fasilitas-fasilitas yang dapat membantu UKMT khususnya membantu pengusaha pemula dalam melaksanakan dan mengembangkan usahanya.
Dalam rangka turut serta membantu dan mendukung secara langsung kegiatan UKMT khususnya kegiatan pengusaha pemula, maka dipandang sangat perlu untuk dapat membangun suatu wadah yang memiliki fasilitas yang dapat mendukung secara langsung kegiatan operasional, promosi, pemasaran, konsultasi teknologi produksi, investasi dan permodalan. Dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut, diharapkan UKMT khususnya pengusaha pemula di Indonesia dapat mengembangkan usahanya lebih cepat dan terarah.
Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, semoga munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan juga Bangsa Indonesia.

Sumber :
Ii Dian Nurhajayanti

tujuan filsfat pendidikan

DASAR, TUJUAN, DAN PERANAN FILSAFAT

BAB I
RINGKASAN MATERI
A. Dasar dan Tujuan Filsafat Pendidikan
Dasar filsafat pendidikan :
1. Metafisika
2. Epistemologi
3. Aksiologi
Tujuan filsafat pendidikan :
1. Dengan berfikir filsafat seseorang bisa menjadi manusia, lebih mendidik dan membangun diri sendiri
2. Seseorang dapat menjadi orang yang dapat berfikir sendiri
3. Memberikan dasar-dasar pengetahuan, memberikan pandangna yang sintesis pula sehingga seluruh pengetahuan merupakan satu kesatuan
4. Hidup seseorang tersebut dipimpin oleh pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sebab itu mengetahuai pengetahuan-pengetahuan terdasar berarti mengetahui dasar-dasar hidup diri sendiri
5. Bagi seorang pendidik filsafat mempunyai kepentingan istimewa karena filsafatlah yang memberikan dasar-dasar dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang mengenai manusia seperti misalnya ilmu mendidik
Tujuan filsafat pendidikan juga dapat dilihat dari beberapa aliran filsafat pendidikan yang dapat mengembangkan pendidikan itu sendiri yaitu :
1. Idealisme
2. Realisme
3. Pragmatisme
4. Humanisme
5. Behaviorisme
6. konstruktivisme.
B. Peranan dan Fungsi Filsafat Pendidikan
Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (paedagogik). Filsafat, juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata.artinya mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, adalah merupakan kenyataan bahwa setiap masyarakat hidup dengan pandangan filsafat hidupnya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dengan sendirinya akan menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di sinilah letak fungsi filsafat dan filsafat pendidikan dalam memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga merevisi teori pendidikan tersebut, yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup dari masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar dan Tujuan Filsafat
Dasar filsafat pendidikan :
1. Metafisika F bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat. Mulai hakekat dunia, hakekat manusia, hakekat tuhan, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidkan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya. Maka ia akan memiliki dorongna yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan cara implisit untuk mengetahui ke arah tujuan pendidikan
2. Epistemologi F ini diperlukan dalam pendidikan antara lain dalam hubungannya dengan penyusunan dasar kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak didik, diajarkan di sekolah dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan cara menyampaikannya seperti apa. Tepri pengetahuan ini berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengadaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode induktif, metode positivisme, metode kontemplatis
3. Aksiologi F dasar ini membahas nilai baik atau nilai buruk. Nilai indah atau tidak indah. Dan tidak mengakui nilai absolut tetapi menolak pula nilai yang bersifat subjektif seperti yang berlaku dalam nilai estetis. Nilai yang ada adalah nilai yang bersifat io-psikologis ekonomik historis. Dasar tingkah laku moral adalah pengetahuan ilmiah serta cinta dan simpati manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral yang tertanam dalam diri pribadi melalui proses pendidikan dan sosialisasi menjadi dasar kemauan bebas dalam menentukan pilihan norma-norma yang tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan berfungsi motivatif bersifat mewajibkan.
Tujuan pendidikan beberapa aliran filsafat bisa membentuk karakter manusia. Aliran realisme berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat. Pragmatisme merupakan kreasi filsafat dari Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat. Humanisme berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Paham behaviorisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
C. Peranan dan Fungsi Filsafat Pendidikan
Tidak semua masalah kependidikan dapat dipecahkan dengan mengunakan metode ilmiah semata-mata. Banyak diantara masalah- masalah kependidikan tersebut yang merupakan pertanyaan- pertanyaan filosofis, yang memerlukan Pendekatan filosofis pula dalam memecahkannya. Analisa filsafat terhadap masalah- masalah kependidikan tersebut, dan atas dasar itu bisa disusun secara sistematis teori- teori pendidikan.disamping itu jawaban- jawaban yang telah dikemukakan oleh jenis dan aliran fisafat tertentu sepanjang sejarah terhadap problematika pendidikan yang dihadapinya, menunjukan pandangan- pandangan tertentu, yang tentunya juga akan memperkaya teori-teori pendidikan. Dengan demikian, terdapat hubungan fungsional antara filsafat dengan teori pendidikan. Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan tersebut, secara legih rinci dapapt diuraukan sebagai berikut :
a. Filsafat, dalam arti analisa filsafat adalah merupakan salah satu cara Pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori- teori pendidikannya, disamping menggunakan metode- metode ilmiah lainnya. Sementara itu dengan filsafat, sebagi pandangan tertentu terhadap sesuatu obyek, misalnya filsafat idelisme, realisme, materialisme dan sebaginya, akan mewarnai pula pandangan ahli pendidikan tersebut dalam teori- teori pendidikan yang dikembangkannya. Aliran filsafat tertentu terhadap teori- teori pendidikan yang di kembangkan atas dasar aliran filsafat tersebut. Dengan kata lain, teori- teori dan pandangan- pandangan filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh fillosof, tentu berdasarkan dan bercorak serta diwarnai oleh pandangan dan airan filsafat yang dianutnya.
b. Filsafat, juga berpungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata.artinya mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, adalah merupakan kenyataan bahwa setiap masyarakat hidup dengan pandangan filsafat hidupnya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dengan sendirinya akan menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di sinilah letak fungsi filsafat dan filsafat pendidikan dalam memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga merevisi teori pendidikan tersebut, yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup dari masyarakat.
e. Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (paedagogik). Di samping hubungan fungsional tersebut, antara filsafat dan teori pendidikan, juga terdapat hubungan yang bersifat suplementer, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Saifullah dalam bukunya “Antara Filsafat dan Pendidikan”, sebagai berikut :
a. Kegiatan merumuskan dasar-dasar, dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat hakikat manusia, serta konsepsi hakikat dan segi-segi pendidikan serta isi moral pendidikannya.
b. Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education) yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan atau organisasi pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat dan Negara.
Definisi di atas merangkum dua cabang ilmu pendidikan yaitu, filsafat pendidikan dan system atau teori pendidikan, dan hubungan antara keduanya adalah bahwa yang satu “supplemen” terhadap yang lain dan keduanya diperlukan oleh setiap guru sebagai pendidik dan bukan hanya sebagai pengajar di bidang studi tertentu”. Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
1. Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)
2. Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)
3. Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)
BAB III
KESIMPULAN
Dasar filsafat pendidikan :
1. Metafisika
2. Epistemologi
3. Aksiologi
Tujuan filsafat pendidikan juga dapat dilihat dari beberapa aliran filsafat pendidikan yang dapat mengembangkan pendidikan itu sendiri yaitu :
1. Idealisme 4. Humanisme
2. Realisme 5. Behaviorisme
3. Pragmatisme 6. konstruktivisme.
Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (paedagogik).