PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PEMBENTUKAN MORALITAS SISWA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan.
Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak
hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi
masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks,
yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak
memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara
manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan
penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan
jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan
masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya
dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan
hakikat hidup dan kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina
kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang
baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat
hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu
menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya
masing-masing.
Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni
keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai
lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat
berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam
pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan
kepribadian anak.
Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS), Bab II Pasal 4, dijelaskan bahwa: ”Pendidikan Nasional
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan bangsa”. Ini
merupakan salah satu dasar dan tujuan dari pendidikan nasional yang
seharusnya menjadi acuan bangsa Indonesia.
Krisis akhlak terlihat pada lapisan masyarakat yang sebagian sikap
mereka sangat mudah merampas hak orang lain, misalnya menjarah, main
hakim sendiri, melanggar peraturan tanpa merasa bersalah, mudah
terpancing emosi, mudah diombang-ambingkan dan perbuatan lain yang
merugikan orang lain atau diri sendiri.
Hal ini juga berdampak buruk pada mutu pendidikan terutama pada kalangan
pelajar, dan untuk mengatasi hal tersebut maka perlu adanya filsafat
dalam pendidikan pada kalangan masyarakat terutama para pelajar, karena
dengan Filsafat pendidikan prilaku masyarakat terutama para pelajar akan
lebih terarah, dan tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional. Oleh sebab
itu maka penulis tertarik membahas lebih lanjut tentang “Peranan
Filsafat Pendidikan dalam Pembentukan Moralitas Siswa”.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat
Filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang
sesuatu sampai keakar-akarnya. Sesuatu disini dapat berarti terbatas dan
dapat pula berarti tidak terbatas. Bila berarti terbatas, filsafat
membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas,
filsafat membahas segala sesuatu yang ada dialam ini yang sering
dikatakan filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas adalah
filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni dan lain-lainnya.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka
dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering
dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena
kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia
saja, sesungguhnya isi alam yang dapat dinikmati hanya sebagian kecil
saja. Misalnya mengamati gunung es, hanya mampu melihat yang di atas
permukaan di laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami sampai
kedasar gunung es itu untuk meraba sesuatu yang ada dipikiran dan
renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu: metafisiska,
epistemologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing
sebagai berikut :
1). Metafisika adalah filsafat yang meninjau tentang hakekat segala
sesuatu yang terdapat dialam ini. Dalam kaitannya dengan manusia, ada
dua pandangan menurut Callahan (1983) yaitu :
a. Manusia pada hakekatnya adalah spritual. Yang ada adalah jiwa tau
roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jwa dari
ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasikan diri, pandangan
ini dianut oleh kaum Idealis, Scholastik, dan beberapa Realis.
b. Manusia adalah organisme materi.Pandangan ini dianut kaum Naturalis,
Materialis, Eksprementalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan
adalah untuk hidup. Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan menusia
menjadi menyenangkan.
2). Epistemologi adalah filfat yang membahas tentang pergaulan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai beikut :
a. ada lima sumber pengetahuan yaitu:
(1). Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedia, buku teks yang baik, rums dan tabel.
(2). Comman sense yang ada pada adat dan tradisi
(3). Intuisi yang berkaitan dengan perasaan
(4). Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengelaman
(5).Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
b. ada empat teori kebenaran yaitu:
(1). Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsesten dengan kebenaan umum.
(2). Koresponden, sesuatu akan benar bila ia dengan tepat dengan fakta yang jelas.
(3). Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan.
(4). Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3). Logika adalah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir
dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan manusia bisa
berpikir dan mengemukakan penadapatnya secara tepat.
4). Etika adalah filsafat yang menguaraikan tentang perilaku manusia,
Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran
dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat besar mempengaruhi pendidikan
sebab tujuan pendidikan untuk mengembangan perilaku manusia, anatara
lain afeksi peserta didik.
Junjun (1981) membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua bagian yang
seling berkaitan satu dengan yang lain. Tingkat proses perkembangan yang
dimaksud adalah:
1). Tingkat empiris adalah ilmu yang baru ditemukan di lapangan. Ilmu
yang masih berdiri sendiri, baru sedikit bertautan dengan penemuan yang
lain sejenis. Pada tingkat ini wujud ilmu belum utuh, masing-masing
sesuai dengan misi penemuannya karena belum lengkap.
2). Tingkat penjelasan atau teoretis, adalah ilmu yang sudah
mengembangkan suatu struktur teoretis. Dengan struktur ini ilmu-ilmu
emperis yang masih terpisah-pisah itu dicari kaitannya satu dengan yang
lain dan dijelaskan sifat kaitan itu. Dengan cara ini struktur berusaha
mengintergrasikan ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu pola yang berarti.
Dari uraian di atas kita sudah berkenalan dengan ilmu empiris berupa
simpulan-simpulan penelitian dan konsep-konsep serta ilmu teoretis dalam
bentuk teori-teori atau grand theory-grand theory.
Sedangkan Pendidikan adalah merupakan salah satu bidang ilmu. Sama
halnya dengan ilmu-ilmu yang lain, pendidikan lahir dari induknya
filsafat. Sejalandengan proses perkembangan ilmu ilmu pendidikan juga
lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan
bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan
diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk
kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan
peningkatan hidup manusia.
Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika,
yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsif koherensi, dan logika
dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi.
Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam
lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut
dengan filsafat pendidikan.
Pendidikan menurut filsafat bertujuan mengembangkan kesadaran individu,
memberikesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangkan
pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan
komitmen diri sendiri. Materi pelajaran harus memberikesempatan aktif
sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri
maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan
langsung dalam kebutuhan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan
pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru
harus bersifat demokratis dengan teknik mengajar langsung.
Dasar ontologis ilmu pendidikan yaitu Pertama-tama pada latar filsafat
diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas
yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra
ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu
pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi
pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial
mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik
(good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek
formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena
atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering
berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual
dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh
saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro
yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang
terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro,
sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang
menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya
mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro.
Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri
secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai
pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun
pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka
menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the
missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara
siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif
sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau
pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang
berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu
pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung
jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan
oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan
memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik
dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu
bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti
sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu
penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan
sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian
tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan &
Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau
wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga
betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti
penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian
etnografis dan penelitian ex post facto.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam
menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya
mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu
pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau
problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan
kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963).
Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara
korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau
pragmatis (Randall &Buchler,1942).
c. Dasar aksiologis ilmu pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom
tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi
pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh
karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai
ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu
untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui
kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang
positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas
nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan
ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan
sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai
seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan
memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek.
Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya
dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih
di Indonesia.
Peranannya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku
kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam
kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr
Perason,1990).
d. Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara
pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana
terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya
belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia
disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini
maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas
dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus
untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas
kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional
disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap
yaitu (4) religiusitas, yaaitu pendidik dalam situasi pendidikan
sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik
sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Peranan Filsafat dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan
maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan
manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu
agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa
kehilangan pribadinya masing-masing. Sejak dahulu, disepakati bahwa
dalam pribadi individu tumbuh atas dua kekuatan yaitu : kekuatan dari
dalam (kemampuan-kemampuan dasar), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan
istilah “faktor dasar” dan kekuatan dari luar (faktor lingkungan), Ki
Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor ajar”.
Teori konvergensi yang berpendapat bahwa kemampuan dasar dan faktor dari
luar saling memberi pengaruh, kedua kekuatan itu sebenarnya berpadu
menjadi satu. Si pribadi terpengaruh lingkungan, dan lingkungan pun
diubah oleh si pribadi. Faktor-faktor intern (dari dalam) berkembang dan
hasil perkembangannya digunakan untuk mengembangkan pribadi di
lingkungan. Factor dari luar dan lingkungan kadang tidak berkembang
dengan baik, misalnya ketika pribadi terpengaruh oleh hal-hal negatif
yang timbul dari luar dirinya.
Permasalahan sekarang baik dilingkungan masyarakat maupun para pelajar
sering menggunakan pengaruh dari luar yang dipenuhi dengan hal-hal
negative, sehingga banyak dikalangan masyarakat terutama para pelajar
terjadi kirisis moral, masalah sedikit bisa mengakibatkan pertengkaran
dan tauran pelajar. Hal ini sangat berpengaruh pada mutu pendidikan.
Dengan terjadinya krisis moral pada pelajar maka akan berdampak buruk
pada nilai pelajaran di sekolahnya dan akibatnya mutu pendidikan akan
rendah.
e. Sebab Timbulnya Krisis Moral
Adapun yang menjadi akar masalah penyebab timbulnya krisis akhlak dalam
masyarakat cukup banyak, yang terpenting diantaranya adalah:
Pertama, krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama
yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam (self control)
Selanjutnya alat pengontrol perpindahan kepada hukum dan masyarakat.
Namun karena hukum dan masyarakat juga sudah lemah, maka hilanglah
seluruh alat kontrol. Akibatnya manusia dapat berbuat sesuka hati dalam
melakukan pelanggaran tanpa ada yang menegur.
Kedua, krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh
orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung
jawab pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat
dan pemerintah4. Ketiga
f. Langkah yang ditempuh untuk mengatasi krisis moral
Pendapat Harold G. Shane dalam bukunya yang berjudul “Arti Pendidikan
Bagi Masa Depan”, ada beberapa karakteristik dari desain pendidikan yang
akan muncul untuk kehidupan di masa depan, karakteristik itu adalah:
1. Tekanan perlu diberikan pada mendapatkan kembali, dalam bentuk yang
jelas, disiplin sosial yang telah menuntun orang Barat dan barangkali
yang telah menuntun sebagian besar umat manusia, sebelum timbulnya
krisis nilai sekarang ini. Krisis yang sifatnya relatifisme dan permisif
ini mengganggu keterikatan orang pada norma-norma yang
ditetapkankebudayaan yang menuntun setiap individu agar berbuat menurut
cara tertentu. Kita harus bergerak maju menuju nilai-nilai dan tipe
hidup yang baru yang diperlukan dalam menyongsong masa depan.
2. Melalui pendidikan, serangan akan dilancarkan terhadap kubu
materialism yang kuat, secara spesifik, terhadap kekeliruan yang telah
meletakkan kepercayaan besar pada nilai-nilai materialisme. Diharapkan
melalui pendidikan dapat mengubah nilai-nilai yang selama ini bersifat
“cinta benda” yaitu selera besar untuk memperoleh benda-benda konsumsi
yang tak terkendalikan.
3. Bahaya dan masalah penggunaan tekhnologi dalam menyongsong hidup di
masa depan. Dengan pendidikan diharapkan dapat meminimalisir bahaya dan
masalah tekhnologi, sehingga menjadikan tekhnologi itu sarana penting
dalam memperbaiki kedudukan manusia dan perlunya dipikirkan lagi agar
pemanfaatan tekhnologi dapat diinjeksikan ke dalam kurikulum.
4. Kurikulum harus mulai responsif secara lebih memadai terhadap ancaman
kerusakan atau krisis nilai yang menimpa lingkungan sosialnya. Secara
paten, pendidikan akan mempunyai peranan penting saat keputusankeputusan
sosial yang penting dicapai berkenaan dengan kebijakan nasional dan
dalam keadaan bagaimanapun juga terdapat banyak dasar untuk memulainya
di sekolah.
5. Pendidikan perlu terus mendidik pelajar supaya keluaran pendidikan
yang baru dapat membuat pelajar menghadapi potensi kekuatan media massa
dalam bentuk opini dan sikap publik. Inilah sosok pendidikan yang
berkembang kini, dan bagaimana sosok masyarakat masa depan dengan
nilai-nilainya yang dominan. Memang kita semua mengetahui betapa sektor
pendidikan selalu terbelakang dalam berbagai sector pembangunan lainnya,
bukan karena sektor itu lebih di lihat sebagai sector konsumtif juga
karena pendidikan adalah penjaga status quo masyarakat itu sendiri.
Pendidikan merupakan sebagian dari kehidupan masyarakat dan juga sebagai
dinamisator masyarakat itu sendiri. Dalam aspek inilah peran pendidikan
memang sangat strategis karena menjadi tiang sanggah dari kesinambungan
masyarakat itu sendiri.
Proses perubahan tata nilai akan berjalan sesuai dengan dinamika
masyarakat dalam era tertentu. Selain itu nilai-nilai pada generasi yang
mendahului sebagian atau keseluruhan masih tetap hidup dalam generasi
berikutnya. Nilai-nilai yang dominan pada setiap generasi ada yang
bersifat positif dan ada yang negatif, maka kita perlu
mengidentifikasinya dan waspada sehingga kita bisa menyaring mana yang
perlu dihidari dan mana yang perlu diambil untuk kemajuan di masa
mendatang. Salah satu tugas dari Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS),
yakni menjaga, melestarikan dan membangun nilai-nilai luhur bangsa18.
Dalam perkembangannya, generasi nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia
kita lihat adanya nilai-nilai antar generasi. Pendidikan menjadikan
nilai-nilai dasar akan semakin kokoh dalam perjalanan kehidupan bangsa,
seperti nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai-nilai generasi
pertama dari perjalanan hidup bangsa.
Sudah tentu nilai-nilai luhur itu perlu ditempa, dihaluskan dan diasah terus menerus sesuai dengan perubahan kehidupan
BAB III
PENUTUP
Gejala kemerosotan nilai-nilai akhlak dan moral dikalangan masyarak
sudah mulai luntur dan meresahkan. Sikap saling tolong-menolong,
keujujuran, keadilan dan kasih sayang tinggal slogan belaka. Bahkan
krisis itu telah melanda generasi muda sebagai penerus bangsa. Adanya
sikap, tindakan dan perbuatan yang tidak bertanggung jawab ini bila
dibiarkan terus, maka tak ayal lagi kalau generasi mendatang akan
diliputi kegelapan dan hancurnya tatanan perikehidupan umat manusia.
Sebab timbulnya krisis akhlak antara lain:
1. Krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari.
2. Krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh
orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung
jawab pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat
dan pemerintah.
3. Krisis akhlak terjadi karena derasnya arus budaya hidup materialistik, hedonistik dan sekularistik.
4. Krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang
sungguhsungguhdari pemerintah. Kekuasaan, dana, tekhnologi, sumber daya
manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak
digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa.
5. Kerisauan kita mengenai akhlak yang mengkhawatirkan bisa saja
diperpanjang dengan mencari siapapun yang disalahkan dan menjadi kambing
hitamnya, akan tetapi hal itu tidaklah arif dan bijaksana tanpa
memusatkan perhatian untuk mencari solusinya. Menyadari akan pentingnya
akhlak, tentu kita tidak bisa melepaskan diri dari dunia pendidikan itu
sendiri. Pendidikan berusaha mencetak kader-kader yang selain mempunyai
wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas atau bersifat teoritis, juga
harus bisa mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan
akhlak tidak sebatas pengetahuan tetapi lebih berpijak pada perilaku
yang dibiasakan.
Pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan menetapkan pelaksanaan
pendidikan agama, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Hal yang
demikian diyakini, karena inti ajaran agama adalah akhlak yang mulia
yang bertumpu pada keimanan kepada Tuhan dan keadilan sosial. Pendidikan
akhlak merupakan konsep nilai-nilai yang terbungkus dalam tataran
norma-norma, adat, kebiasaan atau dalam bentuk seni dan berkebudayaan.
Inilah arti penting pendidikan dalam tataran mengatasi krisis akhlak
yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin H.M., (1994) Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara: Jakarta.
Al-Aziz, Moh. Saifulloh, Drs. (2000), Milenium Menuju Masyarakat Madani, Terbit Terang: Surabaya.
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly
_______ (2007) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Balai Pustaka: Jakarta.
Gordon, Thomas , (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub
G. Shane, Harold, (2002) Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Hasbullah, (1997) Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Mudyahardjo, Redja (2002) Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang
Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, PT.
Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Nata Abuddin, MA. Prof. Dr. H., (2003) Manajemenen Pendidikan: Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana: Bogor.
Rasyad Aminuddin, dalam Ahmad Tafsir, (1995) Epistimologi untuk Ilmu
Pendidikan Islam, Fak.Tarbiyah MIN Sunan Gunung Jati: Bandung.
Suparlan suhartono.(2006). Filsafat Pendidika, Ar-Ruz Media: Jogjakarta.
Tirtarahardja, Umar dan La Sulo (1994). Pengantar Pendidikan, Dirjen Pendidikan Tinggi. Depdikbud: Jakarta.