- PENDAHULUAN
Pendidikan
dalam Islam merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Karena
dengan ilmu pengetahuan, Islam dapat membawa umatnya kepada sesuatu yang
lebih baik. Dengan perhatian yang baik terhadap bidang pendidikan maka
Islam tidak akan mengalami pasang dan surut. Agar pendidikan dalam Islam mengalami kemajuan yang pesat, harus mengadakan inovasi dan perubahan dan sanggup mempertahankannya. Sehingga seberapa kuatnya pihak lain ingin merusaknya maka mereka tidak akan sanggup.
Namun, sekuat apapun kejayaan dan kemajuan itu dipertahankan, suatu saat juga tidak akan terlepas dari kemunduran. Demikian
juga dalam pendidikan Islam, ada mengalami kemajuan dan kemunduran.
Islam yang pernah menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki banyak para
ahli ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, akhirnya terpuruk juga
dikarenakan berbagai hal yang terjadi di dalam tubuh Islam itu sendiri.
Berikut akan dibahas pendidikan Islam pada era kemunduran.
- LATAR BELAKANG KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM
Setelah
mengalami masa kejayaan, umat Islam mengalami masa kemunduran dalam
berbagai bidang. Hal ini dimulai dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Bagdad dan di Cordova.
Bagdad
yang merupakan pusat kedaulatan Abbasiyah yang pertama kali dipimpin
oleh Abu Abbas As Saffah, telah menguasai berbagai daerah yang ada dan
memimpin daerah tersebut. Di bawah kekuasaan daulah Abbasiyah Islam
mengalami kemajuan dalam berbagai bidang terutama dalam
bidang pendidikan. Para pemimpin daulah Abbasiyah lebih memikirkan
bidang pendidikan daripada daulah umayyah sebelumnya yang lebih focus
pada bidang kemiliteran.
Daulah
Abbasiyah sangat menonjol dalam bidang pendidikan pada masa
kekhalifahan Al Makmun. Khalifah Al Makmun adalah seorang yang sangat
mencintai ilmu pengetahuan diatas segalanya dan dia juga selalu
memikirkan agama Islam dengan ilmu pengetahuan tersebut. Dia berusaha
mengembangkan ilmu pengetahuan dan menerjemahkan buku-buku dari Yunani
serta mengembangkan ilmu-ilmu dengan mendapatkan temuan baru. Filsafat
Yunani yang bersifat rasional menjadikan Khalifah Al Makmun terpengaruh
dan mengambil teologi Mu’tazilah menjadi teologi negara.[1]
Dalam masa itu, Islam menjadi Negara yang tak tertandingi dalam bidang
pendidikan serta banyak memberikan sumbangan ilmu pengertahuan terhadap
dunia.
Namun
setelah silih bergantinya Khalifah, Islam mulai mengalami kemunduran
terhadap bidang pendidikan. Hal ini juga berhubungan dengan keruntuhan
daulah Abbasiyah sebagai suatu kedaulatan yang besar. Terjadinya jurang
pemisah antara kekhalifahan dan komunitas keagamaan terutama dalam hal “
kemakhlukan Al Qur’an “ yang membuat terjadinya perselisihan antara
beberapa kelompok. Kelompok yang satu mengatakan bahwa Al Qur’an itu
adalah amkhluk yang diciptakan oleh Allah dan kelompok yang satu lagi
menyatakan bahwa Al Qur’an merupakan Kalam Allah, bukan makhluk.
Hancurnya Islam pada masa daulah Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi factor interen dan factor eksteren.
Dalam bidang interen yaitu[2] :
- Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam daulah Abbasiyah terutama Arab, Prsia dan Turki
- Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah
- Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Bagdad. Dikarenakan lemahnya penerus khalifah selanjutnya maka banyak kerajaan-kerajaan kecil yang memberontak terhadap daulah Abbasiyah dan ingin membentuk dinasti sendiri.
- Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik. Pada awalnya daulah Abbasiyah adalah suatu kerajaan yang kaya akan harta, tetapi dikarenakan penerus khalifah berikutnya terbiasa bermewah-mewah sehingga keuangan menjadi terbuang sia-sia tanpa digunakan untuk hal yang berguna.
- luasnya wilayah kekuasaan. Untuk mengatur daerah kekuasaan yang luas ini, diperlukan rasa saling percaya antar penguasa dan bawahannya. Tapi pada masa-masa akhir daulah Abbasiyah, kepercayaan inilah yang hilang diantara mereka.
- dominasi militer. Pada masa khalifah al Mu’tasim, banyak direkrut jajaran militer dari budak-budak Turki. Dan ada sebagian dari mereka yang diangkat menjadi gubernur untuk memimpin suatu daerah. Namun, pada kelanjutannya mereka secara perlahan mengendalikan pemerintahan. Ini juga disebabkan pengauasa daulah yang lemahdan tidak mampu melawan mereka, sehingga memberi mereka kesempatan untuk mengatur pemerintahan.
Adapun dari bidang eksterennya adalah :
- Perang salib yang terjadi dalam beberapa gelombang
- Hadirnya tentara mongaol dibawah pimpinan Hulagu Khan, yang menghancurkan daulah Abbasiyah dan membakar seluruh buku-buku ilmu pengetahuan yanga ada di Bagdad
Sebab
yang terakhir inilah yang menjadi puncak runtuhnya daulah Abbasiyah di
Bagdad serta mundurnya bidang pendidikan lebih tampak nyata.
Sedangkan
kemunduran di Cordova pada masa daulah Umayyah II. Daulah Umayyah II
yang dipimpin pertama kali oleh Abdurrahman Ad Dakhil yang merupakan
pelarian dari penguasa Abbasiyah. Puncak kekuasaan daulah Umayyah II
terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman III dan Al Hkam. Kemajuan
pada masa itu terlihat dalam berbagai bidang antara lain bidang
pendidikan, ilmu pengetahuan dan intelektual. Di Cordova yang merupakan
pusat daulah Umayyah II telah berdiri suatu universitas yang terpercaya
dan mampu menandingi dua universitas besar lainnya, yaitu universitas Al
Azhar di Kairo dan Nizamiyah di Bagdad. Universitas ini menarik banyak
mahasiswa, baik mahasiswa kristen maupun mahasiswa dari negara Eropa
lainya.
Pertemuan
antara peradaban Arab Islam dengan peradaban masyarakat setempat
menjadikan daerah itu pada masanya mempunyai kebudayaan Islam yang
tinggi. Sehingga Spanyol menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan
Islam di daerah barat. Tetapi kemajuan tersebut ditentukan oleh penguasa
yang memiliki sikap kuat dan berwibawa yang mampu mempersatuka Islam.[3]
Setelah
mencapai kemajuan da kesuksesan dalam berbagai bidang dan selama
beberapa abad menjadi kiblat ilmu engetahuan, akhirnya mencapai
kemunduaran yang disebabkan oleh berbagai hal. Diantaranya yaitu :
- Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan yang menyebabkan munculnya munculnya perebutan kekuasaan diantara ahli waris
- Lemahnya figur dan kharismatik yang dimiliki khalifah khususnya sesudah khalifah Al Hakam II. Khalifah hanyalah sebagai simbol saja, sedang pelaksanaan pemerintahannya dijalankan oleh Wazir
- Perselisihan diantara umat Islam itu sendiri yang disebabkan perbedaan kepentingan atau karena perbedaan suku dan kelompok yang merupakan peluang bagi pihak kristen untuk memecah belah Islam
- Konflik umat Islam dan kristen, kebijakan para penguasa Muslim yang tidak melakukan Islamisasi secara sempurna dan hanya diwajibkan membayar upeti pada penguasa Islam di Spanyol
- Munculnya Muluk At Tawaif ( kerajaan-kerajaan kecil ) yang masing-masing saling berebut kekuasaan.
Hal
ini diperburuk dengan serangan pihak kristen yang sudah menyatu dan
letak Spanyol yang terpencil dari daerah Islam lainnya sehingga Spanyol
harus berjuang sendri tanpa adanya bantuan.
Dengan
runtuhnya kekuaan Islam di Bagdad dan di Cordova maka mulailah
kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam. Dan kehancuran total yang
dihadapi kota-kota pendidikan dan kebudayaan Islam yang mengakibatkan
runtuhnya sendi-sendi pendidikan Islam dan melemahnya pemikiran yang
disebabkan antara lain :
- Telah berlebihnya filsafat Islam ( yang bersifat Sufistik )
Kehidupan
sufi berkembang dengan cepat. Keadaan umat yang frustasi menyebabkan
kembali pada Tuhan dalam arti bersatu dengan tuhan, sebagaimana
duiajarkan oleh para sufi. Di setiap Madrasah diajarkan tentang
ajaran-ajaran sufisme, sehingga di dalam Madrasah hanya ada ilmu-ilmu
agama sedangkan ilmu-ilmu lainnya tidak termasuk dalam pengajaran.
- Sedikitnya kurikulum Islam
Pada
Madrasah-madrasah, pengajaran umumnya terbatas pada ilmu-ilmu
keagamaan, seperti ilmu-ilmu yang murni yaitu : Tafsir, Hadis, Fikih dan
Ushul Fikih, Ilmu Kalam, dan Teologi Islam sudah mulai tertinggal
karena penyempitan kurikulum pada masa itu. Pada beberapa Madrasah
tertentu, Ilmu Klam dicurigai, yang lebih di fokuskan kepada ilmu yang
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan juga materi yang ada
banyak sedangkan waktu yang diberikan untuk mempelajarinya hanya sedikit
sehingga para pelajar tidak terlalu memahami suatu ilmu.
- Tertutupnya pintu ijtihad
Dengan
dikuranginya kebebsan berpendapat dan memikirkan sesuatu dengan akal,
maka banyak para ahli tersebut hanya mengutip ijtihad para ahli
sebelumnya tanpa menemukan pemecahan terbaru tentang hal-hal
permasalahan yang sedang berkembang dari hasil pemikiran mereka.
Sehingga timbul pernyataan yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup.
Melihat hal-hal tersebut, maka jelaslah Islam mengalami masa kemunduran terutama dalam bidang pendidikan.
- SISTEM PENDIDIKAN ISLAM PERIODE KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM
Kemunduran
pendidikan Islam terletak pada merosotnya mutu pendidikan dan
pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Materi pelajarannya
seperti dijelaskan Zuhairini yang dikutip oleh Syamsul Nizar, sangat
sederhana.[4]
Materi yang diajarkan hanyalah materi-materi dan ilmu-ilmu keagamaan.
Lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis,
termasuk ilmu pengetahuan. Rasionalismepun
kehilangan peranannya, dalam arti semakin dijauhi. Kedudukan akal
semakin surut. Dengan dicurigainya pemikiran rasional, daya penalaran
umat Islam mengalami kebekuan sehingga pemikiran kritis, penelitian dan
ijtihad tidak lagi dikembangkan.
Akibatnya,
tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya
intelektualisme yang mengagumkan. Mereka lebih senang mengikuti
pemikiran-pemikiran ulama terdahulu daripada berusaha melakukan
temuan-temuan baru. Keterpesonaan terhadap buah fikiran masa lampau
membuat umat Islam merasa cukup dengan pa yang sudah ada. Mereka tidak
mau berusaha lebih keras lagi untuk memunculkan gagasan keagamaan yang
cemerlang. Usaha yang mereka tempuh hanyalah sebatas pemberian syarah atau ta’liqah
pada kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan memudahkan pembaca
untuk memahami kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan kalimat-kalimatnya
secara semantik atau menambah penjelasan dengan mengutip ucapan-ucapan
para ulama lain.
Diantara
sebab-sebab kemacetan pemikiran dan kemunduran umat Islam adalah
lenyapnya metode berfikir rasional, yang pernah dikembangkan oleh mu’tazilah. Pemikiran rasional mu’tazilah yang telah menimbulkan peristiwa ” mihnah ”,
telah mengundang antipati umat Islam bukan saja terhadap aliran
mu’tazilah tetapi juga terhadap metode berfikir rasional. Sejak saat
itu, masyarakat tidak mau mendalami ilmu-ilmu sains dan filosofis.
Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya fikir masyarakat
Muslim sampai akhirnya pola berfikir mereka didominasi oleh supertisi,
tahayul dan kejumudan.
Antipati terhadap mu’tazilah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap kurikulum. Jatuhnya paham mu’tazilah mengangkat posisi kaum konservatif menjadi kuat. Untuk mengembalikan paham Ahlussunnah sekaligus memperkokohkannya, ulama-ulama melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendikan. Karena
ulama dianggap sebagai kaum terpelajar dan memiliki otoritas keagamaan
dan masalah hukum Islam. Ulama-ulama ini menganut paham konservatif dan
fundamental bahwa wahyu merupakan inti segala macam pengetahuan. Oleh
karena itu mereka hanya mengedepankan ilmu-ilmu keagamaan di lembaga
pendidikan Islam.[5]
Ketauhidan
yang diajarkan Muhammad SAW telah diselubungi khurafat dan paham
kesufian. Mesjid-mesjid ditinggalkan khurafat oleh golongan besar dan
awam. Mereka menghias diri dengan azimat penangkal penyakit dan tasbih.
Mereka belajar pada fakir dan darwis serta menziarahi
kuburan orang-orang keramat.mereka memuja orang-orang itu sebagai orang
suci dan perantara dengan Allah, karena menganggap Dia begitu jauh bagi
manusia biasa untuk pengabdian langsung.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh M. Natsir yang dikutip oleh Chadijah Ismail,
kemurnian tauhid terancam, guru-guru, pemimpin-pemimpin kerohanian
dikultus, dijadikan perantara menziarahi kuburan dan barang-barang
peninggalan orang tua-tua dikeramatkan. Dengan rusaknya kemurnian
tauhid, hubungan antara hamba dengan Tuhannya menjadi kabur, hubungan
hamba dengan sesama manusia dan alam sekitarnya jadi tidak karuan. Amal
Ibadah yang tadinya murni, kemasukan berbagai macam bid’ah dan khurafat.
Esencial demokrasi dalam tata negara digantikan oleh feodalisme dalam
bermacam-macam bentuk dan intensitasnya. Ruh ijtihad, kemerdekaan
berfikir, semangat untuk menjajah, mencari kebenaran merosot, yang
tumbuh malah jiwa serba turut ( taqlid ). Daya cipta lumpuh, yang timbul adalah daya imitasi dan kesenian berakomodasi dengan situasi kondisi.[6]
Umat
Islam banyak terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok politik,
aliran-aliran ilmu kalam dan filsafat Islam, golongan dan mazhab hukum
fikih, jamaah-jamaah sufi dan tarikat. Ditambah dengan banyaknya
hadits-hadits palsu dibuat orang dan tidak diperiksa dengan teliti sanad
dan rawinya. Israiliyat dan nasraniyat dalam penafsiran sangat merusak citra Al Qur’an. Pintu ijtihad tertutup rapat.
Universitas
Al Azhar yang didirikan abad X M jauh ditinggalkan oleh universitas
Paris, Oxford dan Cambrige yang baru berdiri abad XIII M. universitas
Islam Deobamd di India dan universitas Zaitunah di Tunisia tadak lagi
dapat disebut universitas-universitas yang diharapkan oleh Al Qur’an.
Mata
pelajaran seperti : Astronomi, fĂsica, nimia, kedokteran, biologi,
sosiologi, ekonomi, politik sudah ditinggalkan karena dianggap bukan
pelajaran agama, tapi itu ilmu umum. Padahal Al Qur’an tidak pernah
membedakan bahwa kelompok pertama adalah ilmu agama dan kelompok kedua
adalah ilmu umum.
Disamping
itu, di zaman kemunduran banyak berkembang ajaran-ajaran tarekat yang
tidak ada sandarannya Al Qur’an dan Hadits yang dapat dipegangi. Jabarti
yang dikutip oleh Chadijah Ismail mengatakan : “ Orang Islam yang dulu
pernah pertama kali mendirikan rumah sakit dan telah maju dalam bidang
kedokteran, yang telah memberikan inspirasi bagi pendirian rumah sakit
di seluruh Eropa, Semarang jatuh ke dalam keadaan yang menyangka
percobaan nimia Francis semacam sihir.[7]
Di
dalam bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taqlid buta
dikalangan umat. Dengan sikap hidup fatalistas tersebut, kehidupan
mereka Sangay status, tidak ada problem-problem baru dalam bidang fikih.
Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab fikih lama dianggap sesuatu yang
sudah baku, mantap dan benar, dan harus diikuti serta dilaksanakan
sebagaimana adanya.
Kehidupan
sufi berkembang dengan pesat. Madrasah-madrasah yang ada dan yang
berkembang diwarnai dengan kegiatan sufi. Madrasah-madrasah berkembang
menjadi zawiat-zawiat untuk mengadakan riyadah dibawah bimbingan an
otoritas guru-guru sufi, yang selanjutya dikembangkan untuk menuntun
para murid, yang dikenal berikutnya dengan istilah tarekat.
Keadaan
yang demikian, sebagaimana yang dilukiskan oleh Fazlur Rahman yang
dikutip oleh Syamsul Nizar : ” Di madrasah-madrasah yang bergabung dalam
halaqah-halaqah dan zawiat-zawiat sufi, karya-karya
sufi dimasukkan kedalam kurikulum formal, kurikulum akademis yang
terdiri dari hampir seluruh buku-buku tentang sufi”.[8]
Seseorang
yang frustasi dan fatalis, tidak lagi percaya kepada kemampuannya untuk
maju atau mengatasi problem kagamaan dan kemasyarakatan. Mereka
lari dari kenyataan dan hanya mendekatkna diri kepada Tuhan. Untuk itu
mereka masuk ke tarekat-tarekat sehingga tarekat sangat berpengaruh
dalam hidup umat Islam.
Perhatian
pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Kurangnya perhatian penguasa
terhadap kehidupan intelektualisme, menambah umat Islam semakin tidak
bergairah untuk melahirkan karya-karya intelektual sehingga ilmu
pengetahuan Islam mengalami stagnasi.
[1] Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakata : Kencana Prenada Media Group, 2007), h, 172
[2] Ibbid, h, 172
[3] Ibbid, h, 175
[4] Hanum Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999 ), h, 121
[5] Ibbid, h, 123
[6] Chadijah Ismail, Sejarah Pendidikan Islam,( ____ : _____, ____ ), h, 59
[7] Ibbid, h, 61
[8] Syamsul Nizar, Op. cit, h, 179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar